Sabtu, 01 Februari 2014

Bija atau Wija

 Bija atau Wija



Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL) sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakikatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuhkembangkan benih ke-Siwa-an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.

Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daiwi-sampat dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan. Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma. Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas" dalam kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
Pada kenyataanya, setiap umat Hindu di Indonesia mempunyai cara sendiri dalam menggunakan bija. Penempatan bija pada tubuh setiap orang berbeda-beda. Berikut adalah tempat pemakaian bija beserta beragam macam maknanya:
-          Di ubun-ubun: untuk menguatkan atma
-          Di dahi atau sela-sela alis: untuk memuja Siwa (trinetra)
-          Di pangkal tenggorokan: untuk menguatkan kundalini (tujuh cakra di dalam tubuh)
-          Di pangkal leher belakang: untuk menolak bahaya
-          Di daun telinga bawah kiri-kanan: untuk mengendalikan panca indra
Adapun tempat pemakaian bija dan makna yang berbeda sebagai berikut:
Bija yang diletakkan di kening memiliki makna supaya dengan prasadam yang diberikan oleh Tuhan tujuannya untuk menimbulkan benih-benih ide yang cemerlang serta membuat pikiran kita terfokus pada hal-hal yang suci, doa yang di gunakan saat menaruh bija di kening adalah Om Shriyam Bawanthu, yang artinya semoga cerdas atas anugerah Hyang Widhi.
Bija yang diletakkan pada dada dimaksudkan agar di dada senantiasa bersemayam kesucian pribadi dan untuk melapangkan hati doa yang di ucapkan pada saat meletakkan bija di dada adalah Om Sukham Bhawanthu, yang artinya semoga mendapatkan kebahagiaan atas anugerah Hyang Widhi.
Bija yang ditelan kedalam mulut bermakna bahwa kita menanam benih-benih kesucian dalam diri, selain itu juga untuk memperoleh anugrah kemakmuran, doa yang diucapkan pada saat menelan bija itu adalah Om Purnam Bhawanthu, Om ksama sampurna ya namah swaha, yang artinya semoga mendapat kesempurnaan dan pengampunan dari Hyang Widhi.
Belum ditemukan referensi atau lontar mengenai pemakaian bija yang tepat. Tetapi, jumlah biji bija yang dipakai adalah tiga biji pada setiap tempat.
Sumber: 
http://www.babadbali.com/canangsari/bija.htm

0 komentar:

Posting Komentar